Mengenal asal usul dan perkembangan Desa Cikole dari masa ke masa, sebagai bagian penting dari identitas dan budaya lokal.
Desa Cikole lahir sebagai hasil pemekaran administratif dari Desa Cibogo. Pada tahun 1982, pemekaran ini dilakukan ketika Desa Cibogo dibagi menjadi tiga desa: Desa Cibogo, Desa Kayuambon, dan Desa Cikole.
Berdasar data pemerintah daerah, tanggal resmi berdirinya Desa Cikole yang diperingati sebagai “milangkala” adalah 7 Agustus 1978. Pemekaran ini kemudian diperkuat lewat Keputusan Bupati pada tahun-tahun berikutnya.
Desa Cikole terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, dengan ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Kondisi ini menyebabkan iklim yang cukup sejuk, serta tanah yang banyak berupa jenis andosol yang subur.
Salah satu bagian sejarah penting Desa Cikole adalah lahan Persil 57. Lahan ini merupakan bagian aset desa yang sebelumnya merupakan bagian dari tanah milik Desa Cibogo. Pemanfaatannya beragam: ada yang digunakan sebagai permukiman, pertanian, dan fasilitas umum.
Nama "Cikole" berasal dari bahasa Sunda yang terdiri dari dua kata: "Ci" yang berarti air atau sungai, dan "Kole" yang berarti kolam atau genangan air. Hal ini merujuk pada kondisi geografis desa yang memiliki banyak sumber mata air dan kolam-kolam alami.
Menurut cerita turun-temurun dari para sesepuh desa, dahulu kala wilayah ini memang dipenuhi dengan kolam-kolam alami yang terbentuk dari mata air pegunungan. Air yang jernih dan sejuk ini kemudian menjadi daya tarik bagi para pendatang untuk menetap dan bercocok tanam.
Seiring berjalannya waktu, nama Cikole menjadi identitas yang melekat kuat dengan karakteristik desa yang kaya akan sumber daya air dan keindahan alamnya.
Desa Cikole lahir sebagai hasil pemekaran administratif dari Desa Cibogo. Pada tahun 1982, Desa Cibogo dibagi menjadi tiga desa: Desa Cibogo, Desa Kayuambon, dan Desa Cikole. Tanggal resmi berdirinya Desa Cikole yang diperingati sebagai “milangkala” adalah 7 Agustus 1978.
Pada masa awal, masyarakat Desa Cikole masih sangat bergantung pada pertanian tradisional dan hasil hutan. Lahan yang subur dan ketersediaan air dari sumber mata air menjadikan desa ini pusat penghasil sayuran, umbi-umbian, serta hasil hutan seperti kayu dan madu.
Memasuki era kolonial Belanda, kawasan Lembang termasuk Cikole banyak dimanfaatkan sebagai perkebunan dan wilayah hutan produksi. Jalur transportasi dan pemukiman mulai berkembang, walaupun aktivitas masyarakat masih terbatas pada sektor pertanian.
Setelah Indonesia merdeka, Desa Cikole berkembang menjadi desa mandiri dengan memperkuat tata pemerintahan desa. Pada era 1980-an, pemekaran wilayah mempertegas status administratif Desa Cikole, sekaligus membuka jalan bagi pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan.
Memasuki abad ke-21, Desa Cikole mulai dikenal sebagai destinasi wisata alam. Keindahan hutan pinus, udara sejuk, serta panorama Gunung Tangkuban Perahu menjadikan desa ini populer di kalangan wisatawan lokal maupun mancanegara. Masyarakat pun bertransformasi, tidak hanya sebagai petani tetapi juga pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif.
Tradisi Ruwatan di Kampung Adat Cibedug adalah salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan. Selain itu, warga rutin menggelar Hajat Lembur sebagai ungkapan syukur atas hasil bumi dan kelestarian alam.
Wilayah Cikole sudah dihuni masyarakat Sunda sejak lama, dengan kehidupan agraris yang bergantung pada sumber air dan lahan subur.
Cikole dimanfaatkan sebagai kawasan perkebunan dan hutan produksi. Jalur transportasi menuju Lembang mulai berkembang.
Desa Cikole menguatkan tata kelola pemerintahan desa, membuka fasilitas pendidikan, kesehatan, dan jalan desa.
Desa Cikole resmi berdiri sebagai desa mandiri pada 7 Agustus 1978 setelah pemekaran dari Desa Cibogo.
Cikole mulai dikenal luas sebagai destinasi wisata alam, hutan pinus, dan ekowisata di kaki Gunung Tangkuban Perahu.
Desa Cikole berkembang menjadi desa wisata modern yang mengandalkan pariwisata, ekonomi kreatif, dan kearifan lokal.